Pada tahun 2005, Departemen Agama Myanmar telah mengeluarkan pernyataan tentang kebebasan bergama. Sejak
jaman raja-raja Myanmar kuno sampai hari ini, berturut-turut
pemerintah Myanmar telah memberikan perlakuan yang sama untuk semua
empat agama besar (Budha, Kristen, Hindu dan islam). Semua pengikut
agama masing-masing telah diizinkan untuk mengakui masing-masing
keyakinan agama dan melakukan tugas masing-masing secara bebas. Budaya
Myanmar didasarkan pada cinta kasih; para pengikut Islam, Kristen dan
Hindu di Myanmar juga baik hati orang sebagai Myanmar Buddhis. (Sumber : Di sini).
Khusus poin yang terakhir tentang
maklumat yang diterbitkan oleh pemerintah Myanmar sebagaimana disebutkan
di atas, mari kita kaitkan dengan issue yang sedang menghangat tentang
muslim di Myanmar dalam konstelasi sejarah Myanmar kuno hingga ke abad
lebih modern.
Agama dan peradaban Islam di Birma telah ada sejak abad ke 9 yang
dibawakan oleh China muslim, Melayu, Moro dan India baik sebagai tawanan
perang, pasukan kerajaan negara sahabat yang sedang menyiapkan
perbekalan, pelaut maupun yang sengaja datang untuk tinggal di daerah di
pesisir pantai Thanintaryi dan Rakhine. Mereka berasimilasi dan
menikah dengan penduduk setempat.
Pada tahun 1055, berdirilah kerajaan Burma pertama (Kekaisaran Pagan)
dengan rajanya yang legendaris Anawrahta. Setelah Anawrahta meninggal
dinasti pagan turun temurun hingga berakhir masa jaya kerajaan Pagan
pada 1287.
setelah dinasti Pagan (Birma) tamat riwayatnya -untuk sementara waktu-
akibat invasi kerajaan Siam (Thailand) hingga abad ke 13. Singkatnya,
setelah itu giliran kerajaan Siam ditaklukan kembali oleh kerajaan
Ayutthaya Raya dari turunan dinasti Pagan hingga tahun 1767.
Kekuasaan silih berganti berabad lamanya, nasib muslim Burma terus
menerus menderita setiap pertukaran kekuasaan kerajaan hingga akhirnya
dinasti Toungoo berkuasa pada abad 16 - 1752 dan diganti oleh dinasti
Konboung 1752-1885.
Barulah pada masa raja Bodawpaya (1785-1819) warga muslim mulai mendapat
perhatian dari raja yang menganut paham reformasi. Dialah raja Burma
pertama yang mengenal pehamaman tentang warga muslim di Burma saat itu.
Raja ini memberi perhatian khusus dengan menempatkan warga muslim pada
salah satu menterinya dan memberlakukan makanan halal untuk 700 orang
prajurit kavaleri dari kalangan muslim dalam tentara kerajaannya.
Bodawpaya
membangun kota Amarapura tempat 20 ribuan keluarga muslim yang menjadi
warganya. Di kota ini juga berdiri masjid pertama di Burma pada tahun
1855. Kebaikan raja ini tak lepas dari upaya hebat tentara kavaleri
muslim dalam melakukan temabakan meriam ke arah lawan ketika etnis Mon
mencoba menyerang kekuasaan Bodawpaya sehingga membuat kerugian dan
korban jiwa terhadap musuh kerajaan.
Setelah Bodawpaya mangkat, penggantinya (raja Mindon) tak kalah
perhatian terhadap warga muslim. Bahkan ia menambah kekuatan tentara
dalam pasukannya dari kalangan muslim dari anak muda turunan India dalam
pasukan berkuda hingga 400 orang dipimpin kapten muslim Kapten Min Min
Htin Yazar lengkap dengan pakaian khas muslim.
Selanjutnya sejumlah pasukan berkuda muslim raja Mindon membangun kota
baru, Mandalay. Begitu perhatiannya sang raja terhadap warga muslim
hingga penjahit kerjaan pun berasal dari kalangan muslim yaitu U Soe.
Selain itu terdapat beberapa orang lagi kepercayaannya antara lain
adalah : Kabul Maulavi (hakim Islam) dan sebagainya.
Setelah Mindon meninggal dunia, penerus raja terakhir dari dinasti
Konboung yang menguasai Burma adalah Thibaw Min (1859 - 1916). Thibaw
meninggal pada usia 57 tahun setelah kalah dalam pertempuran melawan
kerajaan Inggris.
Selama inggris berkuasa secara resmi pada 1 januari 1886 hingga akhirnya
Burma meraih kemerdekaannya pada 4 Januari 1948, peranan orang muslim
dalam kerjaan Inggris mendapat perhatian yang besar, ini terlihat dengan
jelas karena beberapa diantara warga musli dari berbagai etnis
dipercayakan sebagai penasehat kerajaan, walikota, administrator
kerajaan Inggris, pegawai pelabuhan, pedagang pemilik kapal dan
sebagainya.
Setelah meraih kemerdekaannya dari Inggris, Burma yang pada awalnya
adalah negara yang disegani oleh kawan dan lawan masuk ke dalam pengaruh
sekelompok ultra nasionalis berhaluan sosialis, terutama ketika era
junta militer pertama Jendral Ne win dan dewan revolusioner sosialis
memegang kendali kekuasaan Myanmar.
Sejak
Ne Win berkuasa hingga digantikan oleh Thein Sein, berikut ini sejumlah
peristiwa yang sangat kontras dialami oleh warga Muslim Myanmar dalam
beberapa peristiwa yaitu :
- Perdana Menteri pertama Burma (U Nu) menetapkan agama Budha sebagai agama resmi negara Burma pada 1956. Pernyataan ini menimbulkan protes penganut agama minoritas di Burma termasuk Islam.
- Setelah jendral Ne Win
berkuasa melalui kudeta tak berdarah 1962, pihak muslim disudutkan
dengan munculnya stigma dan dogma bahwa muslim Myanmar itu identik
dengan terorisme. Sebuah statemen yang memancing emosional warga muslim
Myanmar sehingga berusaha mencari pengaruh dengan bergabung dengan
kelompok bersenjata untuk memperoleh pengakuan yang lebih layak.
- Issue sara dan fitnah pada 16
Maret 1997 ditujukan kepada muslim oleh surat kabar yang melansir
berita pemerkosaan oleh pemuda muslim terhadap wanita Birma. Tak ayal,
1000 - 1500 orang bhiksu langsung “kesetrum” menyerang ummat dan
fasilitas muslim termasuk menghancurkan masjid dan toko-toko muslim di
kota Mandalay. Tiga orang muslim tewas akibat issu yang ternyata tidak
dapat dibuktikan. Akibatnya, 100 orang bhiksu ditangkap aparat keamanan
Myanmar.
- Kerusuhan anti muslim di
Sittwe dan Toungoo (2001) berawal dari persoalan makanan jajanan di
warung muslim oleh sejumlah bhiksu hingga terjadi perkelahian yang
mengakibatkan rumah warga muslim terbakar diamuk massa bhiksu. Sedangkan
di Toungoo kerusuhan terjadi pada Mei 2001 diakibatkan oleh pemasangan
pamflet anti muslim di rumah-rumah muslim. Pamflet yang berisi ajakan
untuk menghancurkan masjid di Toungoo karena sebuah patung Budha Bamiyan
telah dihancurkan di Afghanistan.
- Pernyataan presiden Myanmar
Thein Sein tentang strategi mengatasi persoalan etnis klasik di negara
bagian Rakhine adalah dengan cara mengusir muslim Rohingya ke luar
Myanmar dikirm ke kamp-kamp pengungsi di luar negeri sehingga menjadi
tanggung jawab PBB.
- Konsekwensi pernyataan Thein Sein ini berdampak negatif, tanggal 3 Juni 2012 sejumlah penduduk muslim yang berada dalam bis diturunkan dan akhinya 11 warga muslim tewas. Tindaan ini menuntut protes balas dendam di Arakan. Akan tetapi dalam aksi protes tersebut tiga ribuan muslim kembali tewas akibat tindakan genosida dan tirani penguasa, aparat keamanan dan warga pro pemerintah junta militer.
Dari serangkaian peristiwa masa lalu dan
peristiwa masa kini dalam jejak rekam tulisan panjang di atas, kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa :
- Eksistensi dan keberadaan warga muslim di Burma atau Myanmar telah ada sejak abad ke 9 atau sebelum adanya kerajaan pertama Birma, bahkan berpuluh seribuan tahun sebelum Birma merdeka.
- Dalam menjalin kerjasama dengan penguasa setempat, warga muslim di Burma pada masa beberapa dinasti yang tiran diperlakukan tidak wajar.
- Akan tetapi pada masa dinasti Konboung posisi warga muslim mendapat penghargaan dari kerjaan yang berkuasa di Burma.
- Pada masa kerajaan Inggris berkuasa warga muslim diperlakukan dengan baik dan mendapat hak yang sama di dalam mengelola roda pemerintahan di koloni Inggris tersebut.
- Pada masa kemerdekaan, muslim Myanmar kembali mendapat tekanan. Terlebih-lebih saat Ne Win berkuasa dan dilanjutkan oleh Thein Sein dengan aneka issue SARA yang menyudutkan penganut agama minoritas.
- Upaya membagi negara bagian dan region oleh pemerintah junta militer memperlihatkan strategi jitu junta militer. Penyebaran komposisi warga seperti itu mampu memberi perlindungan menyeluruh untuk etnis dominan Birma.
- Pemerintah junta militer memobilisir organisasi demonstrasi tandingan untuk meredam aksi dari kelompok manapun. Organsisasi yang dimobilisir itu mendapat perhatian dan fasilitas yang baik dari pemerintah.
- Warga Muslim masih dianggap ancaman paling berbahaya daripada insurgensi apapun termasuk dari pemberontak Karen. Apa yang membuat pemerintah Myanmar dan para bhiksu membenci kehadiran muslim di sana dibandingkan dengan minoritas lainnya sampai kini belum ada yang mengetahui secara pasti. Padahal dalam rekam sejarah yang disampaikan di atas, kehadiran dan asimilasi warga muslim Myanmar sangat baik terhadap kerajaan Birma pada saat itu.
- Issue SARA masih sangat sensitif dan menjadi sumber pemicu paling potensial ledakan konflik horizontal di Myanmar karena IPM atau HDI masyarakatnya masih amat rendah. Menurut data PBB, HDI Myanmar berada pada urutan 149 dunia dari 157 negara dalam laporan UNDP 2011.
- Sejumlah aksi bhiksu yang terjadi dalam beberapa kali sabotase sangat mencurigakan karena diantara penyerang yang menggunakan gaun bhiksu dengan ciri khas kepala plontos itu ternyata menggunakan hand phone dan alat komunikasi, sesuatu yang tidak wajar dalam penampilan bhiksu Myanmar. Beberapa analis mensinyalir telah masuk anasir-anasir dan agen provokator yang sengaja memperkeruh kondisi.
- Pernyataan politik berbau SARA yang disampaikan oleh seorang pejabat teras negara Myamnar tentang upaya mensubordinasikan sekelompok kaum minoritas tidak seharusnya disampaikan oleh seorang negarawan yang terhormat.
- Informasi yang berkembang dari Myanmar yang berhembus, warga muslim Rohingya yang menjadi sasaran pembunuhan dan sorotan pengusiran adalah imigran gelap tak dapat dibenarkan apaun alasannya, karena itu adalah pelanggaran terhadap HAM secara terang-terangan dan direncanakan. Bagaimana mungkin pemerintah Myanmar yang kurang perduli dengan etnis minoritas bisa memberikan kesimpulan menandai mana yang penduduk setempat dan mana yang imigran gelap atau sekadar diaspora muslim dari tetangga?
Melihat sejumlah data, fakta dan sejarah
singkat di atas, apa sesungguhnya cara pandang pemerintah junta militer
Myanmar dalam menjalankan prinsip-prinsip kebangsaan dan penegakan hak
azasi manusia?
Apakah Myanmar menghendaki dunia ini
kembali kepada masa silam ketika satu kerjaaan bertempur dengan kerjaan
lainnya hingga berabad-abad lamanya, seperti kerjaan Mongolia pernah
merampas Birma dari Siam?
Pemerintah Myanmar sendiri telah
membantah pihak keamanannya melakukan pembantaian terhadap etnis muslim
Ronghya sebagaimana disampaikan oleh Menlu Wunna Maung Lwin kepada AFP
(31/7). Dalam konferensi pers yang dihadiri oleh utusan khusus PBB Tomas
Ojea Quintana, Menlu Myanmar mengatakan pemerintahnya sudah berupaya
keras untuk menghentikan tindakan kekerasan di wilayah Rakhine.
“Pemerintah Myanmar menolak segala
tuduhan yang dikeluarkan oleh beberapa pihak yang menyebutkan, kami
menggunakan kekerasan untuk mengatasi masalah ini (pembantaian
Rohingya),” Sumber : Di sini
Kenyataannya, sekitar 3000-an warga Ronghya telah tewas pada peristiwa
3/6/2012 di Arakan. Siapakah yang melakukan penembakan massal itu?
Bisakah tiba-tiba orang mati serentak ribuan orang tanpa sebab pada
saat unjuk rasa?
Jika semua itu jawabannya adalah TIDAK,
maka segeralah dunia segera bertindak serentak mengatasi krisis
kemanusiaan berupa genosida dan pelanggaran HAM di Myanmar. Segeralah
rambo-rambo AS dan NATO menegakkan demokrasi dan HAM seperti dilakukan
di tempat lainnya. Segeralah PBB atau OKI bahkan Eropa memberi tekanan
kepada Myanmar agar penegakan HAM dan Demokrasi bukan sesuai selera
mereka, melainkan sesuai dengan aturan dunia.
Sebab, siapapun bangsa dan agamanya
yang ada di sekitar kita, haruslah kita saling mengasihi dan menghargai
agar ia menjadi perekat persatuan dan kesatuan ummat manusia se dunia.
Sumber: Kompasiana
No comments:
Post a Comment